Pembaharuan Hukum Pidana Yang Komprehensif Diperlukan Guna Menciptakan Kodifikasi Hukum

SERANGPOS– Menteri Hukum dan HAM, Yassona H. Laoly mengatakan hukum pidana berlaku hingga saat ini merupakan warisan hukum kolonial Belanda. Pembaharuan hukum pidana yang komprehensif pun diperlukan guna menciptakan kodifikasi hukum.

“Sehingga kita sadari atau tidak, secara politis dan sosiologis pemberlakuan hukum pidana kolonial ini telah menimbulkan problema tersendiri. Oleh karena itu pembaharuan hukum pidana yang bersifat komprehensif, yang telah dipikirkan oleh para ahli hukum pidana sejak tahun 1960-an dimaksudkan guna menciptakan suatu kodifikasi hukum pidana nasional untuk menggantikan hukum pidana warisan kolonial,” ujar Yassona.

Hal itu disampaikan dalam sambutannya di ‘Seminar Nasional Arah Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana’, di Hotel JS Luwansa, Jl HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, (28/3/2019).

Menurut Yassona, KUHP yang selama ini digunakan tidak lagi sesuai dinamika perkembangan pidana nasional. Serta juga terjadi dupilkasi norma hukum pidana.

“Pertama, KUHP dipandang tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan hukum pidana nasional Indonesia. Kedua, perkembangan hukum pidana di luar KUHP, baik berupa hukum pidana khusus maupun hukum pidana administrasi telah menggeser keberadaan sistem hukum pidana dalam KUHP. Keadaan ini telah mengakibatkan terbentuknya lebih dari satu sistem hukum pidana yang berlaku dalam sistem hukum nasional. Ketiga, dalam beberapa hal juga terjadi duplikasi norma hukum pidana antara norma hukum pidana dalam KUHP dengan norma hukum pidana dalam Undang-Undang di luar KUHP,” jelas Yasonna.
Baca juga: Bertemu Jokowi, KPK Langsung Buka-bukaan soal RKUHP

Yassona pun mengatakan pembaharuan hukum pidana setidaknya meliputi tiga pilar. Salah satunya pertanggungjawaban pidana.

“Sejalan dengan itu, maka para ahli hukum pidana berpandangan bahwa dalam pembaharuan hukum pidana hendaknya meliputi tiga pilar, yaitu 1) Tindak Pidana (Criminal Act), 2) Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Responsibility), 3) Pidana dan Pemidanaan (Punishment and Treatment System),” kata Yassona.

Selain itu, Yassona mengungkapan pembaharuan hukum pidana harus adaptif dengan pergaulan internasional. Serta seiringnya masuk era revolusi industri terbaru.

“Pembaharuan hukum pidana juga harus mempertimbangkan hal-hal lain diluar rumah hukum pidana yang juga berkembang secara dinamis, bahkan acapkali sulit diramalkan (unpredictable) dan lintas batas negara seiring dengan kemajuan teknologi, yang saat ini telah memasuki Era Revolusi Industri 4.0,” bebernya.

Ketika ditemui wartawan usai acara, Yassona mengatakan sepatutnya Indonesia malu menggunakan hukum pidana yang sudah 100 tahun lebih.

“Malu kita sebagai bangsa, kalau kita masih menggunakan hukum pidana yang 100 tahun lalu di tahun 1915 masuk sekarang sudah 2019, udah 104 tahun,” imbuh Yassona.

Hadir sebagai pembicara dalam seminar itu tiga begawan hukum di bidang pidana. Yaitu Prof Dr Gayus Lumbuun, Prof Harkristuti Harkrisnowo dan Prof Dr Ronny Nitibaskara.(detikcom)

Share