Potensi Lonjakan Corona RI dan Senjata Tracing Tanpa Lockdown

SERANGPOS.COM-Kasus positif Covid-19 di Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Sudah delapan pekan kasus Covid-19 di Indonesia turun sejak rekor kasus harian tertinggi pada 30 Januari lalu, 14.518 kasus dalam sehari.

Sementara itu beberapa negara di Eropa, Australia, dan Asia Tenggara memutuskan untuk melakukan karantina wilayah alias lockdown usai terjadi peningkatan kasus Covid-19 di wilayahnya.

Anggota Bidang Tracking Satgas Penanganan Covid-19 Masdalina Pane mengatakan gelombang pertama dapat dikatakan sudah terjadi apabila ada konsistensi penambahan kasus harian yang berjumlah setengah dari kasus tertinggi yang pernah ada. Hitungan itu disebutnya berdasarkan rumus WHO.

Dalam konteks Indonesia, maka gelombang pertama bisa dikatakan terlewati jika ada penambahan kasus harian yang berjumlah setengah dari 14 ribu atau kurang lebih 7 ribu kasus dalam sehari secara konsisten dalam 3-5 pekan.

Bila melihat pakem itu, maka perkembangan kasus Covid-19 di bawah angka tujuh ribu kasus dalam sehari telah terjadi selama empat pekan. Namun begitu, Masdalina belum bisa mengatakan bahwa Indonesia telah melalui puncak gelombang pertama Covid-19.

“Jadi sampai hari ini kita sudah turun delapan minggu berturut-turut, dan belum pernah ada sebelumnya turun lebih dari lima minggu. Dan empat minggu di antaranya kita sudah turun dari 50 persen puncak tertinggi,” kata Masdalina saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (31/3).

Masdalina menyebut sedianya bila penambahan kasus berada di bawah 7 ribu dalam tiga pekan, itu sudah menjadi bukti bahwa Indonesia telah mengalami penurunan kasus yang signifikan. Namun, menurutnya pihaknya perlu melihat perkembangan dua pekan lagi untuk bisa memastikan apakah Indonesia telah melalui puncak tertinggi atau gelombang pertama Covid-19.

“Hanya agar lebih konsisten, penurunan jadi sekitar sepuluh minggu, sehingga bisa dilihat dalam dua minggu ke depan lagi,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Masdalina pun mengaku cukup was-was penurunan kasus Covid-19 yang sudah cukup signifikan ini tidak bertahan lama. Sebab, selalu ada potensi kenaikan kasus pasca-libur panjang, terutama mengingat mulai merebaknya mutasi virus SARS-CoV-2 varian B117 dan juga lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi di negara lain.

Namun demikian, Masdalina yakin bahwa saat ini kasus mutasi virus asal Inggris itu tidak menyebabkan penambahan kasus Covid-19 yang cukup signifikan di Indonesia.

“Jelas lonjakan kasus bisa terjadi. Tetapi apapun kondisi di lapangannya, misalnya strain baru kita kan ada di Desember-Januari, baru ditemukan di Februari, kemudian ketika kita lakukan penyelidikan epdidemiologis, apakah strain baru menimbulkan penularan yang banyak? tidak,” jelas Masdalina.

Masdalina juga optimistis bahwa strategi pengendalian yang diterapkan Satgas Covid-19 saat ini sudah cukup efektif dan berdasarkan pakem pengendalian Covid-19 dari badan Kesehatan Dunia (WHO).

Ia menyebut strategi tracing alias penelusuran kontak yang berjalan mulai akhir Oktober 2020 itu membawa dampak cukup signifikan dalam perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia.

Masdalina membeberkan, sebaran kasus Covid-19 memang mulai meningkat tajam pada Desember 2020 hingga Januari 2021. Meski begitu, ia menyebut peningkatan itu berasal dari hasil tracing yang optimal. Artinya, kontak erat kasus Covid-19 sesegera mungkin ‘dikurung’ sehingga tidak menyebarluaskan penularan virus corona.

Dengan strategi itu, Masdalina menyebut hasilnya dapat dilihat dalam dua bulan terakhir ini, di mana kasus Covid-19 di Indonesia mulai mengalami penurunan kasus dengan jangka waktu yang lama.

“Sebelum ada program tracing kita sama sekali tidak mengendalikan pandemi. Orang hanya ribut bicara testing, arus mudik, PSBB, PPKM, tapi teknik pengendalian tidak pernah mereka bicarakan,” kata Masdalina.

Masdalina mengatakan upaya preventif dan solutif yang akan dilakukan pihaknya bila terdapat lonjakan kasus atau gelombang baru Covid-19 di Indonesia adalah cukup dengan tracing.

Opsi lockdown hingga pembatasan mobilitas warga menurutnya tidak terlalu efektif, sebab penularan menurutnya bukan hanya terletak pada mobilisasi, melainkan perilaku masyarakat.

Sementara upaya antisipatif seperti penambahan tempat tidur di rumah sakit rujukan Covid-19 menurutnya akan disesuaikan dengan perkembangan kasus yang ada.

“Tidak ada lockdown, tracing cukup. Libur panjang 2020 ada empat libur panjang dibilang kasus naik, tapi di 2021 ada dua libur panjang long weekend imlek dan isra miraj, orang berbondong-bondong ke sana kemari kasusnya naik tidak? Tidak. Kenapa? karena tracing,” jelas Masdalina.

Dihubungi terpisah, Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman meyakini lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia pasti terjadi, terutama usai libur panjang. Dicky pun menilai penurunan kasus Covid-19 yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir bukanlah fakta kasus covid-19 sebenarnya di tanah air.

Ia menjelaskan, meskipun misalnya laporan harian pemerintah tak menunjukkan peningkatan kasus, namun ia yakin penularan dan pertambahan kasus akan masif terjadi, seolah menjadi fenomena gunung es. Sebab, mobilitas warga diketahui sebagai salah satu cara ampuh bagi virus untuk menyebar.

“Jadi Indonesia posisinya bukan menurun kasusnya, tapi testing yang menurun, jadi masih banyak kasus di luar belum ditemukan. Dari positivity rate yang masih di atas 10 persen, artinya bahwa pandeminya tidak terkendali dan mayoritas kasusnya tidak terdeteksi,” kata Dicky kepada CNNIndonesia.com, Rabu (31/3).

Sebab menurutnya, bila berkaca pada kasus-kasus pada tahun lalu libur panjang rata-rata menyumbang kenaikan kasus covid-19 hingga 30-40 persen. Tercatat, penambahan jumlah kasus positif Covid-19 baik secara harian maupun kumulatif mingguan melonjak 69-93 persen sejak libur Idulfitri 22-25 Mei 2020. Lonjakan kasus itu terlihat dalam rentang waktu 10-14 hari kemudian.

Hal serupa juga terjadi pada libur panjang Agustus 2020. Penambahan jumlah kasus positif Covid-19 baik secara harian maupun kumulatif mingguan melonjak 58-118 persen sejak libur panjang 20-23 Agustus 2020.

Ada pula, libur panjang 28 Oktober-1 November 2020 terjadi peningkatan kasus sebesar 17-22 persen. Dan pada Desember 2020 hingga Januari 2021, terjadi lagi peningkatan tajam yang lebih dari 100 persen dari kasus di bulan Oktober 2020.

“Kembali belajar dari kasus sebelumnya pada libur panjang atau mudik yang dilarang. Nah, pada posisi 3T rendah itu kita masih bisa melihat kenaikan kasus, jaring kecil saja itu kita sudah dapat ikan Covid-19 banyak banget, apalagi kalau jaringnya besar, satu kolam Covid-19 itu,” jelasnya.

Dicky pun menyoroti mutasi virus SARS-CoV-2 varian B117 yang sudah masuk di Indonesia namun belum kunjung terjadi peningkatan kasus, sementara negara lain mengalami lonjakan akibat strain asal Inggris itu.

Dengan kondisi itu, Dicky memperkirakan kemampuan testing Indonesia masih lemah, ditambah dengan kemampuan dalam teknik pencarian strain virus menggunakan Whole Genome Sequencing (WGS) yang masih belum optimal.

“Jadi lonjakan kasus bisa akan terjadi atau sudah terjadi,” kata dia.

Untuk itu, Dicky meminta agar pemerintah terus meningkatkan kapasitas pemeriksaan. Menurutnya bila dalam sehari ditemukan 5 ribu kasus Covid-19, maka sehari setelahnya pemerintah harus memeriksa 100 ribu orang.

Sementara pemeriksaan yang dilakukan pemerintah baik melalui metode Polymerase Chain Reaction (PCR), tes cepat molekuler (TCM) dan Rapid test antigen masih belum mampu mencapai 100 ribu pemeriksaan per hari, bahkan tertinggi hanya di kisaran 60 ribu saja dalam beberapa kesempatan.

Dicky yakin bila memang pemerintah serius dan konsisten memberlakukan kebijakan tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) yang sesuai sasaran, maka target-target perbaikan kasus hingga pelandaian kasus secara riil dapat terpenuhi pelan-pelan. Sebab menurutnya kunci utama pandemi terletak di hulu atau upaya 3T tersebut.

“Strategi pengendalian 3T itu kunci,” ucap Dicky.

Untuk itu, sebagai upaya antisipatif dalam menghadapi potensi lonjakan kasus covid-19 di Indonesia pasca libur lebaran, Dicky meminta agar pemerintah menggodok secara detail aturan larangan mudik yang telah dikeluarkan pemerintah itu.

Ia tidak ingin pemerintah membuat kebijakan yang setengah-setengah dan main aman. Menurutnya, kebijakan larangan mudik kali ini harus terpusat dan satu komando lewat aturan yang diteken Presiden.

“Ibaratnya sekarang ini sedang membatasi, membuat benteng dari rumput ilalang yang terbakar api Covid-19. Jadi harus serius dan berkelanjutan, jangan setengah-setengah, nanti malah berbahaya,” kata Dicky. (CNN.indonesia)

Share